Pengetahuan Umum Dahulu
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Kant seumur hidupnya membujang. Dia tinggal di kota Konigsberg di Prusia Timur. Ia seorang yang sangat disiplin, rajin, suka menabung dan hidupnya sangat terencana serta teratur.
Warga kota sudah tau jika Kant keluar rumah untuk berjalan-jalan berarti saat itu pukul empat sore. Ada semacam ketetapan dari dirinya untuk senantiasa patuh pada apa-apa yang tetap yang ada dalam dirinya. Apa-apa yang tetap itu adalah wilayah “a priori” dalam dirinya. Mungkin keluar rumahnya Kant adalah bentuk patuhnya ia pada sesuatu yang tetap dalam dirinya. Yang semula, hal yang tetap itu ia cari-cari. Lantas ketika ditemukan maka Ia tetapkan “itu” sebagai ”hal yang tetap [apriori]”. Oleh karenanya ia hampir setiap hari seperti itu, setiap pukul empat sore keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan.
Kepatuhan Kant pada apa-apa yang telah ia tetapkan sebagai sebuah ketetapan tidak lepas dari kondisi keluarganya. Yang meyakini sebuah faham, yaitu pietisme dalam agama katolik. Paham ini sangat menekankan pada kepatuhan, kejujuran dan kesalehan yang ketat.
Namun, kepastian bahwa Kant bakal keluar rumah setiap pukul empat sore untuk berjalan-jalan. Terbantahkan karena ia juga manusia sama seperti kita. Ia dapat berubah sewaktu-waktu saat ia kehendaki atau saat ia tidak kehendaki.
Saat itu, saat Kant membaca buku berjudul “emile” karya Rousseau, suatu kepastian tentang jalan-jalannya Kant (past)i pukul empat sore terganggu. Karena Kant harus terlena beberapa waktu (hari) lamanya menikmati keindahan bahasa dari buku itu di rumahnya. Bahkan ia membaca “emile” sampai beberapa kali karena saat membaca pertama kali ia malah terlena oleh keindahan bahasanya, alih-alih menangkap pengertian dari karya Rousseaue.
Saya yakin masih banyak lagi peristiwa lainnya yang mengatakan bahwa Kant memang manusia. Yang sering atau minimalnya pernah beberapa kali tidak teratur.
Sebuah Ketundukan pada “Kategori”
Dalam kritisismenya, rasio menurut pandangan Immanuel Kant memiliki batasan. Rasio tidak lagi “terbang-terbangan” ke wacana “metafisika sangkaan” yang padahal sesungguhnya rasio “tidak bisa terbang”. Maka rasio menjadi diketahui batasannya, tidak lagi seperti sebelumnya yang dikesankan kemampuannya tidak berbatas.
Pemahaman di atas lahir setelah Immanuel Kant membaca karya pemikiran Hume, seorang pemikir empirisisme radikal dan seorang “skeptisis sejati”. Bagi Hume segala hal yang berbau “metafisika” maka ia tidak bermakna dan wajib ditinggalkan karena tidak ada padanannya di realitas nyata.
Rasio yang dibiarkan “terbang-terbangan” ke wacana “metafisika sangkaan” disebutnya dogmatis. Karena rasio dibiarkan menipu dirinya dengan kemampuan bohong-bohongannya, hal itu menjadi tidak bermakna. Rasio yang bermakna ialah yang batasan kemampuannya diketahui.
Agaknya yang dimaksud dengan mereka yang menggunakan rasio secara dogmatis ialah mereka para filsuf rasionalis. Yang hanya mementingkan pengetahuan a priori. Menganggap bahwa pengetahuan yang sejati dan tidak menipu ialah pengetahuan yang telah ada sesungguhnya dalam diri manusia tanpa harus ada padanannya di realitas nyata. Itulah pengetahuan a priori yang dipentingkan oleh mereka filsuf rasionalisme.
Namun, Immanuel kant bukanlah seorang rasionalis bukan pula seorang filsuf empirisisme. Ia adalah seorang filsuf yang ingin menggabungkan keduanya. Rasionalisme dan empirisisme, maka munculah apa yang ia gagas, yaitu kritisisme. Maka kritisisme ialah penggabungan atau setidaknya penghubungan antara rasionalisme dengan empirisisme.
Dengan rasionalisme, Kant menemukan apa yang dinamakan asas-asas apriori (kategori). Asas-asas a priori ini dianggap memiliki sifat tetap dan tidak terpengaruh oleh kondisi-kondisi material, oleh karenanya ia berasal dari rasionalisme. Namun Kant tidak hanya berhenti sampai di situ, justru dengan asas-asas a priori ia melakukan upaya penghubungan konsep-konsep dengan kondisi material. Asas-asas a priori berfungsi mengkonstitusi objek sehingga ada kesesuaian antara subjek dengan objek, dan itulah yang disebut benar oleh Kant. Benar adalah adanya kesesuaian antara pikiran (subjek) dengan objek.
Pikiran yang mengkonstitusi objek material dengan perangkat asas-asas a priori(kategori-kategori), saya kira di situlah letak terhubungnya empirisisme dengan rasionalisme. Dari pemahaman itu pula, maka bisa dimengerti bila Kant mengatakan bahwa yang dapat dimengerti adalah fenomena(penampakan) benda-bendanya saja sedangkan nomena(benda pada dirinya sendiri) tidak dapat diketahui. Karena hanya yang nampak pada subjek sajalah yang dapat dikonstitusi oleh subjek.
Meskipun sepertinya asas-asas a priori adalah perangkat/alat untuk mengkonstitusi objek, saya kira itu lebih seperti upaya menundukan objek yang nampak agar “sesuai” dengan asas-asas a priori. Bahwa kebenaran menurut Kant ialah kesesuaian pikiran(subjek) dengan objek yang terindra.
*Buku rujukan: Epistemologi dasar (Sudarminta), Sejarah Filsafat Barat (Bertrand Russell), Filsafat Modern (F. Budi Hardiman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar